Kamis, 17 Mei 2012

Sholat Diperjalanan



Dalam bepergian, ada beberapa keringanan (rukhsah) dalam beribadah yang diberikan oleh agama kita untuk meringankan dan memudahkan pelaksanaannya. Salah satu keringanan tersebut adalah pelaksanan ibadah sholat dengan cara qashar (dipendekkan) dan dengan cara jamak (menggabung dua sholat dalam satau waktu). Dengan demikian pelaksanaan sholat dalam perjalanan, atau disebut "sholatus safar", dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut :
1.      Itsmam, atau sempurna yaitu dilakukan seperti biasanya saat dirumah.
2.      Qashar, yaitu sholat yang semestinya empat rakaat diringkas atau dipendekkan  menjadi dua roka'at.
3.      Jama', yaitu mengumpulkan dua sholat, Dhuhur dengan Ashar atau Maghrib dengan Isya', dalam salah satu waktunya.

CARA SHOLAT QASHAR
Pelaksanaan sholat qashar sama seperti sholat biasa, hanya saja, sholat yang semestinya empat roka'at yaitu dhuhur, ashar, dan isya', di ringkas menjadi dua roka'at dengan niat qashar pada waktu takbirotul ihram.
Contoh lafadz niat qashar : Usholli fardlod-dhuhri rok'ataini qoshron lillahi ta'ala.
Artinya : saya niat sholat dhuhur dengan diqashar dua roka'at karena Allah.

SYARAT-SYARAT QASHAR
Orang yang sedang bepergian (musafir), diperbolehkan melakukan sholat dengan qashar, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Bukan bepergian maksiat, seperti bepergian dengan tujuan mencuri, dan lain-lain.
2. Jarak yang akan ditempuh, sedikitnya berjarak kurang lebih 80,64 km. Muslim sahaat Anas bin Malik r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. ketika bepergian sejauh tiga mil atau tiga farsakh, beliau melakukan shalat dua rakaat.
3. Mengetahui hukum diperbolehkannya qashar.
4. Sholat yang di qashar berupa sholat empat roka'at. Yakni Dhuhur, Ashar dan Isya'
5. Niat qashar pada saat takbirotul ihram.
6. Tidak bermakmum/berjama'ah kepada orang yang tidak sedang melakukan qashar sholat.
7. Tidak berniat mukim untuk jangka waktu lebih dari tiga hari tiga malam di satu tempat.

JAMA' SHOLAT (MENGGABUNG DUA SHOLAT)
Menjama' sholat adalah melakukan sholat Dhuhur dan Ashar dalam salah satu waktu kedua sholat tersebut secara berturut-turut, atau melaksanakan sholat Maghrib dan Isya' dalam salah satu waktu kedua sholat tersebut secara berturut-turut. Maka sholat dengan cara jama' ada dua macam:
1. Jama' taqdim. Yaitu mengumpulkan sholat dhuhur dan sholat ashar dalam waktu dhuhur, atau sholat maghrib dan sholat isya' dalam waktu maghrib.
2. Jama' ta'khir. Yaitu mengumpulkan sholat dhuhur dan sholat ashar dalam waktu ashar, atau sholat maghrib dan sholat isya' dalam waktu isya'.

CARA JAMA' TAQDIM
Yang dimaksud dengan sholat jama' taqdim adalah, melakukan sholat ashar dalam waktunya sholat dhuhur, atau melakukan sholat isya' dalam waktunya sholat maghrib. Sholat shubuh tidak dapat dijama' dengan sholat isya'. Pelaksanaan sholat dengan jama' taqdim antara sholat dhuhur dengan ashar, dilakukan dengan cara, setelah masuk waktu dhuhur, terlebih dahulu melakukan sholat dhuhur, dan ketika takbirotul ihram, berniat menjama' sholat dhuhur dengan ashar.
Contoh :
Usholli fardlod-dhuhri jam'an bil 'ashri taqdiman lillahi ta'ala.
Artinya : "Saya berniat sholat dhuhur dengan dijama' taqdim dengan ashar karena Allah"

Niat jama' taqdim, dapat juga dilakukan di tengah-tengah sholat dhuhur sebelum salam, dengan cara berniat didalam hati tanpa diucapkan, menjama' taqdim antara ashar dengan dhuhur.
Kemudian setelah salam dari sholat dhuhur, cepat-cepat melakukan sholat ashar. Demikian juga cara sholat jama' taqdim antara sholat maghrib dengan sholat isya', sama dengan cara jama' taqdim antara sholat dhuhur dengan ashar, dan lafadz dhuhur diganti dengan maghrib, lafadz ashar diganti dengan isya'.
Jika sholat jama' taqdim dilakukan dengan qashar, maka sholat yang empat raka'at, yaitu dhuhur, ashar, dan isya', diringkas menjadi dua rokaat. Contoh niat jama' taqdim serta qashar:
Usholli fardlod-dhuhri rok'ataini jam'an bil 'ashri taqdiman wa qoshron
lillahi ta'ala
Artinya : "Saya berniat sholat dhuhur dua roka'at dengan dijama' taqdim dengan ashar dan diqashar karena Allah "

SYARAT-SYARAT JAMA' TAQDIM
Orang yang sedang bepergian, diperbolehkan melakukan sholat jama' taqdim, dengan syarat sebagai berikut :
1. Bukan berpergian maksiat .
2. Jarak yang akan ditempuh, sedikitnya berjarak 80,64 km. (mazhab Syafii)
3. Berniat jama' taqdim dalam sholat yang pertama ( Dhuhur / Maghrib).
4. Tartib, yakni mendahulukan sholat dhuhur sebelum sholat ashar dan mendahulukan sholat maghrib sebelum sholat isya'.
5. Wila, yakni setelah salam dari sholat pertama, segera cepat-cepat melakukan sholat kedua, tenggang waktu anatara sholat pertama dengan sholat kedua, selambat-lambatnya, kira-kira tidak cukup untuk mengerjakan dua roka'at singkat.

CARA JAMA' TA'KHIR
Yang dimaksud dengan jama' ta'khir adalah, melakukan sholat dhuhur dalam waktunya sholat ashar, atau melakukan sholat maghrib dalam waktunya sholat, isya'. Sholat shubuh tidak dapat dijama' dengan sholat dhuhur. Pelaksanaan sholat jama' ta'khir antara sholat dhuhur dan ashar, dilakukan dengan cara, apabila telah masuk waktu dhuhur, maka dalam hati niat mengakhirkan sholat dhuhur untuk dijama' dengan sholat ashar dalam waktu sholat ashar. Kemudian setelah masuk waktu ashar, melakukan sholat dhuhur dan sholat ashar seperti biasa tanpa harus mengulangi niat jama' ta'khir. Demikian juga cara melakukan jama' ta'khir sholat magrib dengan sholat isya'. Ketika masuk waktu maghrib berniat dalam hati mengakhirkan sholat maghrib untuk di jama' pada waktu sholat isya'.

SYARAT-SYARAT JAMA' TA'KHIR
Orang yang sedang bepergian, diperbolehkan melakukan jama' ta'khir apabila memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Bukan bepergian maksiat.
2. Jarak yang ditempuh, sedikitnya berjarak 80,64 km. (mazhab Syafii)
3. Berniat jama' ta'khir didalam waktu dhuhur atau waktu maghrib.

SHOLAT DI ATAS KENDARAAN
Pelaksanaan sholat di atas kendaraan pesawat, sama seperti sholat ditempat lainnya. Jika dimungkinkan berdiri, maka harus dilakukan dengan berdiri, ruku' dan sujud dilakukan seperti biasa dengan menghadap qiblat. Namun jika tidak bisa dilakukan dengan berdiri, maka boleh sholat dengan duduk dan isyarat untuk sholat sunnah. Sedangkan untuk sholat fardlu maka ruku-rukun sholat seperti ruku' dan sujud, mutlak tidak boleh ditinggalkan. Sholat fardlu yang dilaksanakan di atas kendaraan sah manakala memungkinkan melakukan sujud dan ruku' serta rukun-rukun lainnya. Itu dapat dilakukan di atas pesawat atau kapal api yang mempunyai ruangan atau tempat yang memungkinkan melakukan sholatg secara sempurna. Apabila tidak memungkinkan melakukan itu, maka sholat fardlu sambil duduk dan isyarat bagi orang yang sehat tidak sah dan harus diulang. Demikian pendapat mayoritas ulama.
Pendapat ini dilandaskan kepada hadist-hadist berikut:
[1]. Dalam hadist riwayat Bukhari dari Ibnu Umar r.a. berkata:"Rasulullah s.a.w. melakukan sholat malam dalam bepergian di atas kendaraan dengan menghadap sesuai arah kendaraan, beliau berisayarat (ketika ruku' dan sujud), kecuali sholat-sholat fardlu. Beliau juga melakukan sholat witir di atas kendaraan.
[2].Hadist Bukhari yang lain dari Salim bin Abdullah bin Umar r.a. berkata:"Abdullah bin Umar pernah sholat malam di atas kendaraannya dalam bepergian, beliau tidak peduli dengan arah kemana menghadap. Ibnu Umar berkata:"Rasulullah s.a.w. juga melakukan sholat di atas kendaraan dan menghadap kemana kendaraan berjalan, beliau juga melakukan sholat witir, hanya saja itu tidak pernah dilakukannya untuk sholat fardlu".
Bagaimana melaksanakan sholat fardlu di atas kendaraan yang tidak memungkinkan memenuhi rukun-rukun sholat?  Terdapat dua cara, yaitu:
[1] Melakukan sholat untuk menghormati waktu (lihurmatil wakti) dengan sebisanya, misalnya sambil duduk dan isyarat. Sholat seperti ini wajib diulang (I'adah), setelah menemukan sarana dan prasarana melaksanakan sholat fardlu secara sempurna
Cara melakukan sholat lihurmatil waqti, sama seperti melakukan sholat biasa, hanya saja, bagi yang sedang berhadats besar, seperti junub, dicukupkan dengan hanya membaca bacaan yang wajib-wajib saja, tidak boleh membaca surat-suratan setelah bacaan fatihah.

ANTARA WUDLU DAN TAYAMMUM
Saat bepergian atau di atas kendaraan, untuk melaksanakan sholat terkadang mengalami kendala sulitnya mencari air. Maka pada saat tidak menemukan air untuk berwudlu, atau ada air, namun oleh pemilik air tidak diperbolehkan digunakan berwudlu', seperti ketika berada didalam pesawat, oleh petugas tidak diperbolehkan menggunakan air untuk berwudlu', karena dikhawatirkan dapat mengganggu sistem pesawat, sehingga dikhawatirkan membahayakan keselamatan para penumpang. Maka dalam kondisi ini diperbolehkan tayammum, yaitu bersuci dengan debu.
Pada saat dimana juga tidak terdapat sarana untuk bertayamum, seperti debu, maka sholatnya dapat dilakukan dengan cara di atas.

QADLA SHOLAT YANG TERTINGGAL SAAT BEPERGIAN
Apabila kita bepergian dan karena satu dan lain hal kita terpaksa meninggalkan sholat atau tidak mungkin melakukan sholat, maka kita wajib melakukan qadla atas sholat yang kita tinggalkan tersebut. Qadla artinya melakukan sholat di luar waktu seharusnya.
Untuk sholat yang ditinggalkan saat bepergian jauh, qadla juga dapat dilaksanakan dengan qashar sesuai ketentuan qashar di atas, asalkan masih dalam kondisi bepergian dan belum sampai di tempat tujuan atau tempat bermukim, atau telah kembali di rumah. Maka apabila kita ingin melakukan qadla shalat yang tertinggal dalam bepergian, hendaknya melakukannya pada saat masih dalam perjalanan dan sebelum sampai di rumah, sehingga kita masih mendapatkan dispensasi melakukan qashar.
Apabila kita melakukan qadla shalat yang tertinggal di perjalanan tadi telah sampai di tempat tujuan untuk bermukim lebih dari tiga hari, atau setelah kita sampai di rumah, maka kita tidak lagi mendapatkan dispensasi qashar dan harus melaksanakannya dengan sempurna. Alasannya adalah karena keringanan qashar diberikan saat bepergian dan saat itu kita bukan lagi musafir maka wajib melaksanakan sholat secara sempurna.

BATAS MULAI DIPERBOLEHKAN MENGAMBIL KERINGANAN
Batas mulai diperbolehan jamak dan qashar adalah pada saat musafir telah melewati batas desanya. Begitu juga batas akhir mulai tidak diperbolehkan melakukan qashar atau jamak bagi seorang musafir adalah pada saat mulai memasuki batas desa dimana dia akan tinggal atau bermukim. Kalau anda melakukan qashar dan jamak takhir saat  perjalanan pulang, hendaknya melakukannya sebelum masuk batas desa anda. Kalau anda terlanjur masuk desa tersebut, maka anda tidak lagi berhak atas keringanan seperti jamak atau qashar.



dikutip dari tuntutan solat dan berbagai buku fikih

Jumat, 13 April 2012

Makalah Pengertian Psikologi agama


Bab II
PENGERTIAN DAN RUANGLINGKUP
PSIKOLOGI AGAMA
A.     Pengertian Psikologi Agama
a.     Pengertian Psikologi Agama Menurut Etimologi
Psikologi agama terdiri dari dua kata yaitu psikologi dan agama yang menurut bahasa, Psikologi berasal dari bahasa yunani yaitu “Psyche” dan “logos”. “Psyche” yang artinya jiwa dan “logos” yang artinya ilmu pengetahuan. Jadi psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa baik mengenai macam-macam gejalanya, proses maupun latarbelakang.[1]
Psikologi secara etimologi mengandung arti ilmu tentang jiwa. Dalam islam kata jiwa disamakan dengan “an-nafsu” namun ada juga yang menyamakan dengan istilah “ar-ruh”. Tetapi istilah “an-nafsu” lebih populer dari pada istilah “ar-ruh”, karena psikologi dalam bahasa arab lebih populer diterjemahkan dengan ilmu an-nafsu dari pada ilmu ar-ruh. Dalam al-quran surat al-fajr ayat 27-30 disebutkan, kata an-nafsu berarti jiwa:[2]
(٢٨) مَّرْضِيَّةًرَاضِيَةًرَبِّكِ إِلَى ارْجِعِي (٢٧) الْمُطْمَئِنَّةُالنَّفْسُ أَيَّتُهَايَا
(٣٠) جَنَّتِي وَادْخُلِي (٢٩) عِبَادِي فِي فَادْخُلِي
“Hai jiwa yang tenang kembalilah kepada tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoinya. Maka masuklah kedalam jama’ah hamba-hambaku, masuklah kedalam surgaku.” (QS. Al-Fajr 27-30)[3]
            Sedangkan agama berasal dari kata latin “religio”, yang berarti obligation/kewajiban. Agama dalam Encyclopedia of philosophy adalah kepercayaan kepada tuhan yang selalu hidup, yakni kepada jiwa dan kehendak ilahi yang mengatur alam semesta dan mempunyai hubungan moral dengan umat manusia. Agama adalah pengalaman dunia dalam seseorang tentang ketuhanan disertai keimanan dan peribadatan.[4]
            Jadi Psikologi agama merupakan bagian dari psikologi yang mempelajari masalah-masalah yang ada sangkut pautnya dengan kajian beragama.
b.     Pengertian Psikologi Agama Menurut Terminologi
Sedangkan menurut terminologi, psikologi agama dapat didefinisikan sebagai: “Cabang psikologi yang meneliti dan mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan pengaruh keyakinan terhadap agama yang dianutnya serta dalam kaitannya dengan perkembangan usia masing-masing. Upaya tersebut dilakukan melalui pendekatan psikologi, jadi merupakan kajian empiris”.[5]
Sedangkan menurut jamaludin ancok (1994;144) psikologi agama adalah ilmu yang berbicara tentang manusia, terutama masalah kepribadian manusia, yang bersifat filsafat, teori, metodelogi, dan pendekatan problem dengan didasari sumber-sumber formal islam (al-Quran dan Al-hadis) dan akal, indra dan intuisi.[6]
Selanjutnya sebagai disiplin ilmu yang otonom, psikologi agama mempunyai lapangan yang menjadi bidang penelitiannya. Dan meskipun secara harfiyah psikologi agama mencakup dua bidang kajian, yaitu jiwa dan kajian mengenai agama, namun penelitiannya memiliki batas-batas tertentu. Psikologi agama membatasi lapangan penelitiannya hanya pada proses kejiwaan manusia yang dihayati secara sadar dalam kondisi yang normal. Manusia yang memiliki norma-norma kehidupan yang luhur dan berperadaban.
Psikologi agama tidak menyinggung persoalan yang menyangkut masalah aqidah atau pokok-pokok keyakinan suatu agama. Demikian juga masalah yang berkaitan dengan kepercayaan terhadap yang gaib, seperti tuhan dan sifat-sifatnya. Surga dan neraka dengan latarbelakang kehidupan didalamnya.
Dalam hubungan dengan masalah tersebut, psikologi agama hanya mampu meneliti mengenai bagaimana sikap batin seseorang terhadap keyakinannya kepada tuhan, hari kemudian, dan masalah ghaib lainnya. Juga bagaimana keyakinan tersebut mempengaruhi penghayatan batinnya, sehingga menimbulkan berbagai perasaan seperti tentram, tenang, pasrah dan sebagainya.[7]
Jadi psikologi agama adalah suatu cabang dari ilmu psikologi yang membahas pengaruh keagamaan terhadap jiwa individu.
B.     Ruang Lingkup Psikologi Pendidikan
Jika ruanglingkup psikologi modern terbatas pada tiga dimensi fisik biologis, kejiwaan da sosio cultural, maka ruang lingkup psikologi islam disamping tiga hal tersebut juga mencakup dimensi kerohanian, dan dimensi spiritual, suatu wilayah yang tak pernah disentuh oleh psikologi barat karena perbedaan pijakan.[8]
Sedangkan menurut Prof. Dr. Zakiah daradjat sebagaimana dikutip oleh Dr. Jalaludin, bahwa lapangan penelitian psikologi agama mencakup proses beragama, perasaan dan kesadaran beragama dengan pengaruh dan akibat-akibat yang dirasakan sebagai hasil dari keyakinan terhadap suatu agama yang dianutnya. Oleh karena itu ruang lingkup yang menjadi lapangan kajian psikologi agama meliputi kajian mengenai:[9]
1.      Bermacam-macam emosi yang menjalar diluar kesadaran yang ikut menyertai kehidupan beragama orang biasa (umum), seperti rasa lega, dan tentram sehabis sembahyang, rasa lepas dari ketegangan batin sesudah berdoa atau membaca ayat-ayat suci, perasaan tenang, pasrah dan menyerah setelah berzikir dan ingat kepada allah ketika mengalami kesedihan dan kekecewaan yang bersangkutan.
2.      Bagaimana perasaan dan pengalaman seseorang secara individual terhadap tuhannya, misalnya rasa tentram dan kelegaan batin.
3.      Mempelajari, meneliti, dan menganalisis pengaruh kepercayaan akan adanya hidup sesudah mati (akhirat) pada tiap-tiap orang.
4.      Meneliti dan mempelajari kesadaran dan perasaan orang terhadap sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan.
5.      Meneliti dan mempelajari bagaimana pengaruh penghayatan seseorang terhadap ayat-ayat suci kelegaan batinnya.
Semua itu tercakup dalam kesadaran beragama dan pengalaman beragama. Yang dimaksud dengan kesadaran agama adalah bagian/segi agama yang hadir (terasa) dalam pikiran yang merupakan aspek mentaldari aktivitas agama. Sedangkan pengalaman agama adalah unsure perasaan dalam kesadaran beragama, yaitu perasaan yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan (amaliyah).
Tegasnya psikologi agama hanya mempelajari dan meneliti fungsi-fungsi jiwa yang memantul dan memperlihatkan diri dalam prilaku dalan kaitannya dengan kesadaran dan pengalaman agama manusia.[10]
Psikologi Agama mempelajari psikis manusia dalam hubungannya dengan manifestasi keagamaannya, yaitu kesadaran agama (religious consciousness) dan pengalaman agama (religious experience). Kesadaran agama: hadir dalam pikiran dan dapat dikaji dengan introspeksi. Pengalaman agama: perasaan yang hadir dalam keyakinan sebagai buah dari amal keagamaan semisal melazimkan dzikir. Jadi, obyek studinya dapat berupa: (1) Gejala-gejala psikis manusia yang berkaitan dengan tingkah laku keagamaan; dan (2) Proses hubungan antara psikis manusia dan tingkah laku keagamaannya.Sedangkan menurut istilah psikologi agama adalah ilmu yang meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku seseorang atau mekanisme yang bekerja dalam diri seseorang yang menyangkut tata cara berpikir, bersikap, berkreasi dan bertingkah laku yang tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam konstruksi kepribadiannya.[11]
C.     Dasar Psikologi Agama
Dengan kepercayaan umat islam bahwa al-Quran dan as-sunah merupakan
sumber ilmu pengetahuan, maka dasar dari psikologi agama adalah al-quran dan as-sunah.[12] Sebagaimana Firman Allah SWT:
مَّا كَانَ اللّهُ لِيَذَرَ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى مَا أَنتُمْ عَلَيْهِ حَتَّىَ يَمِيزَ الْخَبِيثَ مِنَ الطَّيِّبِ وَمَا كَانَ اللّهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ وَلَكِنَّ اللّهَ يَجْتَبِي مِن رُّسُلِهِ مَن يَشَاءُ فَآمِنُواْ بِاللّهِ وَرُسُلِهِ وَإِن تُؤْمِنُواْ وَتَتَّقُواْ فَلَكُمْ أَجْرٌ عَظِيمٌ
“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini , sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mu'min). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya. dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.” (QS. Ali 'Imran : 179)[13]
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
 “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quraan itu adalah benar.  Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”(QS. Al- Fushshilat : 53)[14]
Dalam sabda Nabi SAW :
(مالك رواَه) نَبِيِّهِ وَسُنَةَ اللهِ كَتاَبَ بِهماَ تَمَسَّكْتُمْ ماَ تَضِلُّوْا لَنْ أَمْرَيْنِ فِيْكُمْ تَرَكْتُ
“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegangan teguh pada keduanya, yaituberupa kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR. Malik)[15]
Ada dua alasan mendasar mengapa kita perlu menghadirkan psikologi islami atau psikologi agama. Alasan yang paling utama adalah karena islam mempunyai pendangan-pandangan sendiri tentang manusia. Al-quran, sumber utama agama islam, adalah kitab petunjuk, didalamnya banyak terdapat rahasia mengenai manusia. Allah sebagai pencipta manusia, tentu tahu secara nyata dan pasti tentang siapa manusia. Lewat al-quran, allah memberitahukan rahasia-rahasia tentang manusia. Karenanya, kalau kita ingin tahu manusia lebih nyata dan sungguh-sungguh, maka al-quran adalah sumber yang selayaknya dijadikan acuan utama.[16]
D.     Fungsi Psikologi Agama
Setelah mengetahui ruanglingkup dan dasar-dasar psikologi agama, maka marilah kita belajar memahami tugas dari psikologi agama yang memiliki fungsi:
1.      Menerangkan prilaku yang menyimpang pada diri manusia sesuai dengan syariat
2.      Memprediksi tingkah laku pada manusia sesuai dengan syariat
3.      Mengontrol prilaku yang dilakukan manusia agar tidak terjadi penyimpangan
4.      Mengarahkan manusia untuk mencapai ridho Allah SWT.
            Dengan demikian kehadiran psikologi agama dipenuhi dengan suatu misi besar. Yaitu menyelamatkan manusia dan mengantarkan manusia untuk memenuhi kecendrungan alaminya untuk kembali pada allah dan mendapatkan ridha allah SWT. Karena tugas final psikologi agama itu menyelamatkan manusia, maka psikologi harus memanfaatkan ajaran-ajaran agama.[17]
E.      Tujuan Psikologi Agama
Psikologi islam memiliki beberapa tujuan yaitu:
1.        Psikologi islam untuk kesejahtraan seluruh umat
2.        Memprediksi prilaku manusia, mengontrol, dan mengarahkan prilaku
3.        Membangun ilmu dengan visi islam
4.        Agama sebagai dasar pembentukan ilmu[18]
Psikologi islam disusun dengan memakai al-quran sebagai acuan utamanya. Sementara al-quran sendiri diturunkan bukan semata-mata untuk kebaikan umat islam, tetapi untuk kebaikan umat manusia seluruhnya.
رَبِّهِمْ بِإِذْنِ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ مِنَ النَّاسَ لِتُخْرِجَ إِلَيْكَ أَنزَلْنَاهُ كِتَابٌ الَر (١)الْحَمِيدِ الْعَزِيزِ صِرَاطِ إِلَى
“Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.”(QS. Ibrahim: 01)[19]
            Oleh karena itu, dengan sederhana dapat dikatakan bahwa psikologi islam
dibangun dengan arahan untuk kesejahtraan umat.
            Mengenai untuk siapa psikologi ini akan dimanfaatkan, maka kami berpandangan bahwa psikologi islam adalah suatu disiplin ilmu yang universal yang dapat diterapkan untuk semua manusia. Pengembangan psikologi islam tidak terlepas dari apa yang kita sebut sebagai tugas kekhalifahan manusia, yaitu rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil alamin). Tujuan pengembangan psikologi islam pada ujung-ujungnya adalah memecahkan problem dan mengembangkan potensi individu alam memahami pola hidup mereka.
            Dengan demikian walau dasar utama pengembangan psikologi islam adalah al-quran dan al-hadis sehingga ada kesan hanya untuk umat islam namun arah dari usaha ini adalah meningkatkan kesejahtraan umat manusia.
Setelah mengetahui ruanglingkup dan dasar-dasar psikologi agama, maka marilah kita belajar memahami tugas dari psikologi agama yaitu memprediksi prilaku manusia, mengontrol, dan mengarahkan prilaku itu.
            Lebih dari itu, psikologi agama memiliki tugas yang berfungsi untuk menerangkan, memprediksi, mengontrol, dan terutama mengarahkan manusia untuk mencapai ridhonya.
Dengan demikian kehadiran psikologi agama dipenuhi dengan suatu misi besar. Yaitu menyelamatkan manusia dan mengantarkan manusia untuk memenuhi kecendrungan alaminya untuk kembali padanya dan mendapatkan ridhanya. Karena tugas final psikologi agama itu menyelamatkan manusia, maka psikologi harus memanfaatkan ajaran-ajaran agama.[20]

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Fauzi. Psikologi Umum.  CV Pustaka Setia: Bandung. 1997
Aan anifah dan Abdullah. Makalah Pengertian dan Ruanglingkup psikologi Islam. Indramayu. 2009.
Depag. Al-Qur’an dan terjemah. Gema risalah press. Bandung.  1993.
Http://blog.uin-malang.ac.id/abrorainun/2010/10/20/hadis-sebagai-sumber-ajaran-islam/. Akses pada tanggal 12-05-2011.
Ramayulis. Psikologi Agama. Kalam Mulya: Jakarta. 2002.
Jalaluddin. Psikologi Agama. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Djamaludin Ancok Fuat Nashori Suroso. Psikologi Islami Solusi Islam Atas Problem-problem Psikologi. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. 1994.



[1] Ahmad Fauzi, Psikologi Umum, 1997,  CV Pustaka Setia, Bandung, H 9.
[2] Aan anifah dan Abdullah,  Makalah Pengertian dan Ruanglingkup psikologi Islam, Indramayu, 2009, H 02.
[3] Depag, Al-Qur’an dan terjemah, 1993, Gema risalah press, Bandung,  QS. Al-Fajr 27-30, H 1256.
[4]Aan anifah dan Abdullah,  Makalah Pengertian dan Ruanglingkup psikologi Islam, Indramayu, 2009, H 02.
[6] Aan anifah dan Abdullah,  Makalah Pengertian dan Ruanglingkup psikologi Islam, Indramayu, 2009,  H 04.
[7] Prof. Dr. H. Ramayulis, Psikologi Agama, Kalam Mulya, Jakarta, 2002, H 5.
[8] Aan anifah dan Abdullah,  Makalah Pengertian dan Ruanglingkup psikologi Islam, Indramayu, 2009, H 05.
[9] Dr. Jalaluddin, Psikologi Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, H 15.
[10]Dr. Jalaluddin, Psikologi Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, H 15.
[12] Aan anifah dan Abdullah,  Makalah Pengertian dan Ruanglingkup psikologi Islam, Indramayu, 2009, H 14.
[13] Depag, Al-Qur’an dan terjemah, 1993, Gema risalah press, Bandung, QS. Ali 'Imran : 179, H 135.
[14]Depag, Al-Qur’an dan terjemah, 1993, Gema risalah press, Bandung, QS. Al- Fushshilat : 53,  H  965.
[16] Dr. Djamaludin Ancok Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami Solusi Islam Atas Problem-problem Psikologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1994, H 139.
[17] Dr. Djamaludin Ancok Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami Solusi Islam Atas Problem-problem Psikologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1994, H 139.
[18]Aan anifah dan Abdullah,  Makalah Pengertian dan Ruanglingkup psikologi Islam, Indramayu, 2009,  H 24.
[19]Depag, Al-Qur’an dan terjemah, 1993, Gema risalah press, Bandung,  QS. Ibrahim: 01, H 485.
[20] Dr. Djamaludin Ancok Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami Solusi Islam Atas Problem-problem Psikologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1994, H 149.